Gender dan Ekonomi

Madani-News.Com – Kemiskinan merupakan permasalahan akut yang hingga saat ini masih menjadi batu sandungan bagi negara-negara Dunia Ketiga untuk mencapai pembangunan yang progresif. Khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia, kemiskinan tumbuh menjadi sebuah katastropi yang sulit untuk dibendung. Terutama, kemiskinan kultural dan struktural yang telah menciptakan jurang kesenjangan yang cukup curam, di mana mereka yang kaya (kaum borjuis) terus melakukan akumulasi sumber daya sedangkan yang miskin (kaum proletar) semakin tereksploitasi. Hal ini diperparah dengan suburnya budaya patriarki dan meluasnya kekerasan berbasis gender yang membentuk kontruksi parsial di masyarakat sehingga menyebabkan termarginalkannya kaum perempuan dari kehidupan sosial.

Permasalahan ekonomi dan gender secara universal memiliki relasi kuat dalam membentuk pola-pola baru tindak kekerasan terhadap perempuan. Masalah ini seringkali tumbuh menjadi akar dari berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan − kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi. Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2021 terdapat 338.506 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terbagi dalam tiga ranah yaitu ranah personal, ranah publik dan ranah negara. Kondisi ekonomi keluarga yang lemah menjadi salah satu penyebab kekerasan tersebut dapat terjadi. Perempuan dari keluarga miskin cenderung sering mendapatkan stereotipe negatif dari masyarakat yang berujung pada tindak opresi, alienasi, subordinasi, dan tindak kekerasan seksual ketimbang mereka yang berasal dari keluarga kaya. Kondisi ini terbentuk karena kesempatan kerja yang tidak memberikan ruang kesetaraan bagi mereka. Di mana kaum perempuan masih dianggap sebagai kaum feminis (lemah) dan inferior sehingga dirasa kurang berpotensi dibandingkan dengan kaum laki-laki yang cenderung lebih superior dan maskulin.

Terbentukya mindset bahwa perempuan sebagai makhluk inferior dan laki-laki sebagai kaum superior telah membentuk sistem kelas sosial yang tidaksetara dan polarisasi relasi berbasis gender. Terutama di dalam ranah kerja, di mana perempuan mengalami domestifikasi, sedangkan laki-laki cenderung diberikan kesempatan luas untuk mengisi ruang-ruang kerja publik. Alhasil, tidak menjadi rahasia umum jika pekerjaan di sektor publik lebih didominasi oleh laki-laki ketimbang perempuan. Bahkan, perempuan hanya bisa mengakses pekerjaan di sektor jasa seperti perawat dan pekerja sosial, sedangkan jenis pekerjaan pada sektor lainnya banyak diduduki dan didominasi oleh laki-laki. Hal inilah yang kemudian menyebabkan TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan cukup rendah hanya berada di angka rata-rata 47 persen sedangkan laki-laki di angka 72 persen.

Minimnya kesempatan kerja bagi kaum perempuan tidak hanya mengantarkan mereka ke dalam jurang kemiskinan namun juga mendorong terjadinya pendangkalan pola pikir. Mereka seringkali mengalami tekanan besar (depresi) dan akhirnya pasrah dengan kontruksi sosial yang terbentuk – notabene terus menyudutkan mereka. Kondisi ini yang kemudian berimbas pada masa depan keluarga dan anak-anaknya, sehingga membuat mereka tidak mampu keluar dari belenggu kemiskinan. Struktur sosial yang tidak mendukung iklim kesetaraan bagi perempuan, keadilan untuk orang-orang miskin, dan pemerataan pembangunan telah membentuk kemiskinan struktural dan dengan cepat tumbuh menjadi kemiskinan kultural yang sukar untuk ditangani. Menurut Mohanty, perempuan dan anak perempuan membentuk 70 persen dari kaum miskin dunia sekaligus menjadi mayoritas pengungsi dunia. Hampir 80 persen dari mereka merupakan orang-orang terlantar dari Dunia Ketiga/Selatan di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Sehingga membentuk realitas sosial di masyarakat bahawa kaum laki-laki cenderung lebih memiliki kekuatan dalam bidang ekonomi dan politik ketimbang kaum perempuan.

Pernikahan dini menjadi salah satu faktor besar yang menjadi titik awal kekerasan yang terjadi kepada perempuan, terutama kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence). Meskipun UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah direvisi menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019, tetap saja angka pernikahan dini masih tinggi. Tercatat sekitar 1.220.900 anak Indonesia melakukan perkawinan dini. Keadaan mental (psikologi) yang belum matang dan ekonomi yang belum kuat akhirnya menciptakan benih KDRT yang berujung pada perceraian dini. Selanjutnya, yang sangat mengkhawatirkan yakni ketika seseorang perempuan menjadi kepala keluarga dengan kondisi ekonomi yang cukup sulit, biasanya anak-anaknya cenderung mengalami kondisi kesehatan yang kurang (stunting dan gizi buruk), terlantar, mengalami gangguan mental, kesulitan mengakses pendidikan, dan yang paling parah banyak dari mereka yang terjerumus dalam dunia prostitusi. Keadaan inilah yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan struktural yang melekat dalam kehidupan sosial mereka. Pasalnya, mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak, minimnya akses terhadap sumber daya, tekanan mental dari hegemonik kelas sosial menengah atas, hingga akhirnya mereka mengambil jalur instan bekerja sebagai tunasusila agar tercukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga (Ibu dan adik-adiknya).

Faktanya, ketidaksetaraan gender telah mengakibatkann kelompok perempuan dan anak-anak sangat rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021 menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan secara umum, sebesar 26,1% perempuan masih mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Bahkan, prevalensi setahun terakhir, meningkat dari 4,7% pada tahun 2016 menjadi 5,2% pada 2021. Artinya, masalah gender sejauh ini masih menjadi distopia bagi perempuan di Indonesia sehingga menjadikan mereka useless di depan laki-laki.

Kemudian, menurut hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2021 juga menunjukkan sebanyak 34% anak laki-laki dan 41,05% anak perempuan pernah mengalami salah satu jenis kekerasan sepanjang hidupnya. Dari angka tersebut dapat dilihat bahwa anak perempuan lebih banyak mengalami kekerasan ketimbang anak laki-laki. Data ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa kontruksi kekerasan terhadap perempuan terjadi sejak usia dini, sehingga membentuk pola pikir dan legitimasi di masyarakat bahwa mereka (kaum perempuan) sebagai makhluk misoginis – dijadikan objek kekerasan, stereotipe negatif, dan alienasi.

Untuk menangani tindak kekerasan berbasis gender dan masalah ekonomi yang terjadi, pemerintah berupaya melakukan berbagai tindakan, mulai dari pembuatan kebijakan dan realisasi pembangunan sumber daya manusia secara masif. Dalam hal kebijakan, pemerintah memiliki komitmen kuat untuk melindungi perempuan dan anak melalui penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), UU Perlindungan Anak, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sedangkan dalam realisasinya, pemerintah memberikan keamanan melalui pembentukan lembaga-lembaga perlindungan perempuan serta berkolaborasi dengan berbagai komunitas perempuan untuk memberikan edukasi dan pengawasan. Pemerintah juga mendorong berbagai kegiatan kreatif bagi perempuan untuk menciptakan peluang-peluang ekonomi yang akan menumbuhkan kemandirian bagi mereka. Sejauh ini, menurut data Badan Pusat Statistik (PBS, 2021) sebanyak 64,5 persen dari total UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) dikelola oleh perempuan. Di mana peran perempuan dalam sektor ekonomi melalui usaha tidak hanya sekedar membantu perekonomia keluarga, namun juga menjadi penggerak sosial dan ekonomi di masyarakat, mengurangi pengangguran, menciptakan lapangan pekerjaan, menyumbang devisa negara, mendorong pengarusutamaan gender, hingga mengurangi KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

Selain itu, masih ada banyak gerakan-gerakan kreatif yang digerakkan oleh kaum perempuan di daerah dalam menciptakan kemandirian ekonomi. Misalnya gerakan kampung dan pasar kreatif yang mampu memberikan ruang bagi mereka untuk menggerakkan berbagai aktivitas ekonomi. Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi) menjadi salah satu pasar kreatif di Indonesia yang mampu memberdayakan kaum perempuan untuk mandiri secara ekonomi. Berdiri sejak tahun 2018, kini Payungi mampu mencatatkan omset lebih dari 6 miliar dari gelaran pasar kreatif yang digerakkan secara kolektif oleh mayoritas Emak-Emak. Terdapat juga Kampung Peng_angguran yang memberdayakan kaum perempuan di dalam satu RW (Rukun Warga) untuk menanam pohon anggur. Disamping itu, mereka juga digerakkan untuk membudidayakan magot, lebah trigona, ayam petelur, ternak sapi, dan melestarikan kebudayaan setempat. Gerakan pemberdayaan kolektif masyarakat seperti Payungi dan Kampung Peng_angguran menjadi contoh gerakan dari bawah (bottom-up) yang turut berkontribusi mengikis permasalah gender dan ekonomi dalam lingkup RW. Tentu, gerakan pemberdayaan ini harapannya bisa direplikasi ke daerah-daerah lain di Indonesia, agar menjadi gerakan yang mampu mengubah kontruksi lama (budaya patriarkal) menjadi kontruksi baru yang mengedepankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia.

Penulis :Mustika Edi Santosa (Sekjend GenPI Lampung/Payungi University)